Perusahaan tempat saya bekerja diambil alih oleh perusahaan multinasional Inggris pada pertengahan tahun 1990an. Managing Director yang baru diangkat dari Inggris, dalam salah satu kunjungannya ke pabrik, menanyakan bagaimana orang Gujarat makan makanan di rumah. Setelah mendengar tanggapannya, dia memutuskan untuk duduk di lantai dan menikmati makanan Gujarati, bersama dengan semua rekan senior di pabrik tersebut.
Apa yang coba dilakukan Direktur Pelaksana? Ia berusaha mengapresiasi norma-norma budaya di tempat barunya dan menunjukkan kesediaannya untuk merangkulnya. Perilaku Direktur Pelaksana tersebut jelas membantu manajemen lokal lebih terbuka dalam diskusi selanjutnya.
Dalam 2 dekade terakhir, tantangan lintas budaya dalam manajemen bisnis internasional menjadi menonjol karena perusahaan mulai melakukan ekspansi melintasi batas wilayah. Bahkan sekolah manajemen terkemuka di India sudah mulai memasukkan tantangan lintas budaya sebagai bagian dari kurikulum manajemen bisnis internasional.
“Budaya” menjadi salah satu bidang minat saya, baru-baru ini saya menerima undangan untuk mendidik mahasiswa program Diploma Manajemen Bisnis Internasional, dengan topik tantangan lintas budaya. Untuk persiapan saya, saya membaca banyak buku tentang subjek tersebut. Basis pengetahuan saya diperkaya secara substansial karena harta informasi yang terkandung dalam buku-buku ini sangat berharga dan sangat relevan.
Artikel ini merupakan upaya untuk memaparkan beberapa isu relevan terkait tantangan lintas budaya dalam Manajemen Bisnis Internasional.
Apa itu “Budaya”?
Budaya adalah “pengetahuan yang diperoleh yang digunakan orang untuk mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan pengalaman untuk menghasilkan perilaku sosial dan profesional yang dapat diterima. Pengetahuan ini membentuk nilai-nilai, menciptakan sikap dan mempengaruhi perilaku”. Budaya dipelajari melalui pengalaman dan dibagikan oleh sejumlah besar orang di masyarakat. Selain itu, kebudayaan diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Apa saja komponen inti dari “Kebudayaan”?
- Distribusi tenaga – Apakah anggota masyarakat mengikuti pendekatan hierarki atau ideologi egaliter?
- Hubungan sosial – Apakah masyarakat lebih individualistis atau mereka percaya pada kolektivisme?
- Hubungan lingkungan – Apakah masyarakat mengeksploitasi lingkungan untuk tujuan sosio-ekonomi atau berupaya untuk hidup harmonis dengan lingkungan sekitar?
- Pola kerja – Apakah orang melakukan satu tugas pada satu waktu atau mereka melakukan banyak tugas sekaligus?
- Ketidakpastian & kontrol sosial – Apakah anggota masyarakat suka menghindari ketidakpastian dan terikat pada aturan atau apakah anggota masyarakat lebih berbasis hubungan dan suka menghadapi ketidakpastian saat dan kapan ketidakpastian itu muncul?
Apa saja permasalahan kritis yang umumnya muncul dalam tim lintas budaya?
- Kepercayaan yang tidak memadai – Misalnya, di satu sisi seorang manajer Tiongkok bertanya-tanya mengapa rekan setimnya yang berasal dari India berbicara dalam bahasa Hindi di kantor dan di sisi lain, rekan satu timnya berpendapat bahwa ketika manajer tidak ada, mengapa mereka tidak dapat berbicara dalam bahasa Inggris?
- Persepsi – Misalnya, masyarakat dari negara-negara maju menganggap masyarakat dari negara-negara kurang berkembang lebih rendah atau sebaliknya.
- Bias yang tidak akurat – Misalnya, “Orang Jepang membuat keputusan dalam kelompok” atau “Orang India tidak menyelesaikan masalah tepat waktu”, merupakan versi prasangka budaya yang terlalu umum.
- Komunikasi yang salah – Misalnya, saat berdiskusi, orang Jepang lebih banyak menganggukkan kepala sebagai tanda kesopanan dan belum tentu sebagai persetujuan terhadap apa yang dibicarakan.
Apa saja gaya komunikasi yang dipengaruhi oleh budaya bangsa?
- 'Langsung' atau 'Tidak Langsung' – Pesannya eksplisit dan lugas dalam gaya 'Langsung'. Namun, dalam gaya 'Tidak Langsung', pesan-pesannya lebih implisit & kontekstual.
- 'Rumit' atau 'Tepat' atau 'Singkat' – Dalam gaya 'Rumit', pembicara banyak berbicara & mengulang berkali-kali. Dalam gaya 'Tepat', pembicaranya tepat dengan pengulangan minimal dan dalam gaya 'Singkat'; pembicara menggunakan lebih sedikit kata dengan pengulangan sedang & menggunakan isyarat nonverbal.
- 'Kontekstual' atau 'Pribadi' – Dalam gaya 'Kontekstual', fokusnya adalah pada gelar atau sebutan pembicara & hubungan hierarki. Namun, dalam gaya 'Pribadi', fokusnya adalah pada pencapaian individu pembicara & hanya ada sedikit referensi pada hubungan hierarki.
- 'Afektif' atau 'Instrumental' – Dalam gaya 'Afektif', komunikasi lebih berorientasi pada hubungan dan pendengar perlu memahami makna berdasarkan petunjuk nonverbal. Sedangkan pada gaya 'Instrumental', penuturnya lebih berorientasi pada tujuan dan menggunakan bahasa langsung dengan isyarat nonverbal yang minimal.
Apa isyarat nonverbal penting yang terkait dengan komunikasi antar tim lintas budaya?
- Kontak tubuh – Mengacu pada isyarat tangan (direncanakan/tidak disengaja), berpelukan, berpelukan, mencium, menepuk bahu, ketegasan jabat tangan, dan lain-lain.
- Jarak antarpribadi – Ini tentang jarak fisik antara dua individu atau lebih. 18″ dianggap sebagai jarak intim, 18″ hingga 4′ dianggap sebagai jarak pribadi, 4′ hingga 8′ adalah jarak sosial yang dapat diterima, dan 8′ dianggap sebagai jarak publik.
- Artefak – Ini mengacu pada penggunaan peniti dasi, perhiasan, dan sebagainya.
- Para-bahasa – Ini tentang kecepatan bicara, nada, dan kenyaringan.
- Kosmetik – Ini tentang penggunaan bedak, pewangi, deodoran, dll.
- Simbolisme waktu – Ini tentang kesesuaian waktu. Misalnya, kapan waktu yang tepat untuk menelepon, kapan memulai, kapan selesai, dan lain-lain karena setiap negara berada dalam zona waktu yang berbeda.
Epilog
“Tantangan lintas budaya dalam manajemen bisnis internasional”, telah menjadi topik yang banyak diikuti dalam dua dekade terakhir. Terdapat cukup banyak contoh kegagalan bisnis atau stagnasi atau kegagalan usaha patungan, karena ketidakmampuan manajemen untuk mengenali tantangan lintas budaya dan mengatasinya dengan tepat. Terdapat juga contoh perusahaan yang mengadakan pelatihan wajib mengenai manajemen budaya atau program akulturasi bagi karyawan yang dikirim ke luar negeri atau dipekerjakan dari negara lain, untuk memastikan bahwa tantangan lintas tantangan dapat diatasi secara efektif.
Dunia semakin hari semakin kecil dan oleh karena itu, para manajer yang terlibat dalam bisnis internasional harus lebih peka terhadap tantangan yang muncul dari lanskap budaya dan etnis di negara tempat mereka bekerja.
Mengabaikan tantangan budaya saat mengelola bisnis internal adalah sebuah proposisi yang berisiko karena taruhannya tinggi. Hal ini mirip dengan faktor “Kebersihan” dalam teori “Motivasi Faktor Ganda” yang dikembangkan oleh psikolog Frederick Herzberg pada pertengahan tahun 1960an. Dalam pengelolaan bisnis internasional, merangkul keragaman budaya suatu negara mungkin membawa keberhasilan atau tidak, namun jika tidak melakukan hal tersebut pasti akan meningkatkan kemungkinan stagnasi atau kegagalan.
Referensi:
- “Manajemen Lintas Budaya – Teks dan Kasus” oleh Bhattacharya Dipak Kumar
- “Manajemen Internasional: Budaya, Strategi dan Perilaku” oleh Hodgetts Richard M, Luthans & DOH)
- “Manajemen Lintas Budaya: Tantangan dan Strategi” oleh Richard Steer, Scnchez-Runde Carlos J, Nardon Luciara)
- “Menjembatani Kesenjangan Budaya: Panduan Praktis Komunikasi Bisnis Internasional” oleh Carte Penny dan Chris Fox
==================== =====